Setelah sekian bulan vakum,
akhirnya ada kesempatan untuk
nulis-nulis lagi. Tiga bulan vakum nulis dan tidak di-publish, rasanya agak sebel juga. Karena hal yang membuat vakum itu
gara-gara laptop rusak dan harus diperbaiki. Banyak kegiatan yang akhirnya
tidak terdokumentasikan dalam bentuk tulisan. Mulai dari libur Natal di Madura
(tepatnya di daerah warm river alias
Kalianget, yg memakan waktu perjalanan 14 jam dari Solo, kesel tenan…), rafting
alias arung jeram bersama temen-temen panitia PPM (Piala Persahabatan Mikael)
di Sungai Elo Magelang, Erupsi Gunung Kelud yang dashyat di hari Valentine,
sampai-sampai derah Jawa Barat yag jaraknya ratusan kilometer pun terkena
dampaknya,Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) untuk pengurus OSIS yang baru, dan
banyak lagi kisah-kisah lain yang ndak sempat terdokumentasikan dalam tulisan
dan di-publish, untuk sekedar dibagikan
sebagai bacaan ringan.
Kali ini tulisan saya masih ndak
jauh-jauh dari dunia pendidikan, tepatnya yang baru dialami siswa-siswa kelas
XI dari tanggal 6-9 Maret. Berangkat dari sebuah keprihatinan, dan berakhir
dengan kesan yang mendalam, membuat cuilan
kisah-kisah ini menjadi menarik dan recommended
untuk dibagikan. Jika ada yang mau mengembangkan dan mengikuti modelnya,
silahkan saja.
Berangkat dari sebuah
keprihatinan, bahwa orang teknik (mesin) itu cenderung kaku dan asosial. Dunia teknik
mesin itu kalau boleh jujur, adalah dunia yang brengsek. Brengsek dalam artian
semuanya serba teratur dan membatasi orang untuk kreatif. Dari cara menggambar
sampai mengukur saja semua serba diatur. Maka tanpa disadari, dunia teknik
mesin seperti menghasilkan “robot-robot kecil”, yang semuanya serba diatur oleh
sebuah sistem yang cenderung menghasilkan mahkluk-mahkluk yang kaku dan kurang
peduli kepada lingkungannya, karena banyak hal dilakukan secara individual. Apalagi
dalam berkegiatan, interaksi mereka lebih banyak dengan benda kerja yang nota bene adalah benda mati. Hal inilah
yang menjadi kelemahan (dan tentunya masukan juga) bagi dunia pendidikan
teknik, khususnya teknik mesin.
Padahal di SMK Mikael sendiri
berkehendak untuk menjadikan siswa-siswanya menjadi Man for Others. Jika mengacu ke kurikulum yang ada, cita-cita itu
bisa saja tercapai, tetapi tidak mudah. Karena dengan segala aturan dan
keteraturan, siswa cenderung akan menelan tanpa berpikir kritis. Nah, ini yang
berbahaya, karena jika sudah jadi kebiasaan atau habitus, siswa tidak akan mendapatkan makna dari kegiatan
belajarnya. Mereka akan mendapatkan pengalaman belajar tetapi tidak mendapatkan
maknanya, sehingga mereka tidak tahu untuk tujuan apa mereka belajar. Disinilah
bahayanya. Maka perlu ada perlakuan (treatment)
yang mau tidak mau membuat siswa mendapatkan pengalaman sekaligus makna, dan
hal ini tidak cukup hanya dilakukan berdasarkan kurikulum yang disiapkan
pemerintah. Tinggal pilih saja, kalau ikut pemerintah berarti hanya mau jadi ordinary, tapi jika mau jadi extraordinary, ya harus ada yang beda.
Dari latar belakang dan fenomena
tersebut, dibuatlah kegiatan pendampingan siswa untuk siswa kelas XI dengan
tujuan untuk memperbaiki kemampuan bersosialisasi siswa. Kalau dilihat namanya,
Latihan Kepemimpinan Tingkat Madya), wah ini pemerintah banget. Tetapi untuk isinya, coba dikemas berbeda, dibuat extraordinary dong. Di kelas X mereka
sudah pernah mendapatkan LKTD (Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar) yang
berfokus pada self leadership,
sekarang fokusnya ada di social
leadership.
Tahun kemarin sudah dicoba LKTM
dengan fokus di social leadership,
tetapi jujur saja hasilnya masih mengecewakan. Mengirimkan siswa dengan tinggal
bersama masyarakat (live in) di desa,
ternyata tak banyak yang bisa didapatkan. Seneng sih, bisa tinggal bersama
masyarakat desa, tetapi bagi siswa yang berasal dari desa, ini ndak ada bedanya
dengan pulang kampung. Begitu juga harapan untuk melibatkan siswa dalam
kegiatan bermasyarakat di desa, kecil sekali pengaruhnya. Masyarakat desa di
Jawa yang masih lugu, mempunyai kecenderungan untuk melayani tamu
sebaik-baiknya. Melayani dalam artian menjadi tuan rumah yang baik. Harapan untuk
melibatkan siswa dalam kegiatan masyarakat sehari-hari tidak tercapai. Yang ada
malah siswa menjadi lebih nyaman dibandingkan rutinitasnya sehari-hari.
Akhirnya tahun ini kegiatan LKTM
dirombak total konsepnya. Kali ini siswa setengah dipaksa untuk menjadi
pengajar di sekolah-sekolah. Diharapkan kegiatan ini lebih baik daripada
sekedar “pindah tidur” dari kota ke desa. Dengan menjadi pengajar, mereka
sedikit dipaksa untuk bersosialisasi dengan guru dan siswa. Sedangkan untuk
soal tempat tinggal, siswa dititipkan bersama keluarga guru-guru yang
disinggahi. Dengan tinggal bersama keluarga guru, diharapkan ada komunikasi
yang bersifat edukatif.
Untuk penempatan siswa, SMK
Mikael memilih untuk bekerjasama dengan Yayasan Kanisius Cabang Surakarta. Yayasan
Kanisius sendiri mungkin merupakan yayasan pendidikan yang tertua di Jawa
Tengah. Yayasan ini mengelola sekolah-sekolah dari TK sampai SMA. Untuk Yayasan
Kanisius Surakarta, wilayahnya mencakup di eks Karesidenan Surakarta (Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali,
Sragen, Karanganyar, Wonogiri). Dengan berbagai pertimbangan, siswa SMK Mikael
akhirnya dikirim untuk mengajar di TK dan SD. Dalam dialog sebenarnya dibatasi
untuk SD, hanya di kelas 1 dan 2, karena pada masa-masa itulah pembentukan
karakter seseorang benar-benar dibentuk. Di masa-masa inilah ditanamkan hal-hal
dasar pada seseorang yang kelak digunakan untuk menjadi bekal hidupnya.
Setelah dipetakan kembali, TK dan
SD yang dikelola oleh Yayasan Kanisius Surakarta kemudian dibagi-bagi dalam
zona-zona berdasarkan daerah. Untuk Kota Solo ada di daerah Keprabon, Purbayan,
Semanggi, Sangkrah, Serengan, Sorogenen, dan Pucangsawit. Untuk daerah Karanganyar
ada di Kedawung dan Karangbangun (keduanya ada di Kecamatan Jumapolo, di “pelosok”
Karanganyar). Untuk daerah Klaten ada di Delanggu (kampung halaman Dono
Warkop), Mlese, Sidowayah, Murukan (Wedi), dan Bayat. Sedangkan untuk daerah
Wonogiri, walaupun jumlah sekolahnya paling sedikit, tetapi letaknya menyebar,
dari Wonogiri, Baturetno, Watuagung, dan Serenan (Giriwoyo). Untuk teknisnya,
siswa yang berasal dari desa atau luar kota Solo akan ditempatkan di kota,
sedangkan yang berasal dari kota akan ditempatkan di desa. Diharapkan mereka
akan mendapatkan pengalaman baru dari lingkungan yang baru pula.
Satu hal yang saya lihat.
Kanisius sudah melayani warga akan akses pendidikan, selain sejak jaman dulu,
tetapi juga mencakup ke masyarakat yang tinggal di pelosok. Untuk saat ini,
sekolah-sekolah Kanisius sepertinya menjadi suatu “spesies langka” dan patut
dilestarikan. Pada masa jayanya, sekolah Kanisius adalah favorit masyarakat
yang membutuhkan akses pendidikan, tanpa memandang bahwa sekolah Kanisius
adalah Sekolah Katolik. Masyarakat yang saat itu masih lugu, tidak ragu untuk
menyekolahkan anak-anaknya ke Kanisius tanpa rasa kuatir akan di-Kristenisasi. Namun
sekarang kondisinya berubah. Dengan menjamurnya sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah
swasta favorit, Kanisius kehilangan peminat. Belum lagi adanya isu
Kristenisasi, membuat Kanisius semakin ditinggalkan masyarakat yang (ngakunya) semakin
cerdas ini.
Dari semua sekolah Kanisius yang akan ditempati siswa Mikael, hanya
di Purbayan dan Keprabon saja yang masih diminati oleh masayarakat dari
golongan mampu. Selebihnya didominasi oleh siswa-siswa dari golongan marginal, masyarakat yang mungkin
mendaftarkan anak-anaknya di Kanisius karena sudah tidak ada pilihan lain,
daripada tidak bersekolah. Inilah semangat yang saya lihat pada guru-guru di sekolah-sekolah
Kanisius itu. Semangat untuk menjadi martir. Semangat untuk mengorbankan diri,
mengorbankan nama besar, untuk melayani anak-anak dari kaum tersisih akan
kebutuhan pendidikan. Nah,realitas ini yang harus dilihat dan dipelajari
siswa-siswa Mikael. Maka ndak salah kalau mereka dititipkan pada keluarga
guru-guru dengan semangat luar biasa ini.
Tibalah saatnya siswa-siswa ini
disebar ke sekolah-sekolah Kanisius. Sampai hari H, Kamis 6 Maret 2014, tidak
ada siswa yang tahu akan dikirimkan ke sekolah mana. Semua dilakukan dengan
pendekatan pengelolaan emosi. Mereka hanya diberi surat untuk kepala sekolahbeserta
alamatnya, dan dibekali dengan uang yang mepet untuk naik angkutan umum dan
sekedar makan di perjalanan. Mereka ditantang untuk dapat mencapai tujuan. Tidak
ada peta, tidak ada contact person,
hanya ada alamat. Dari sini mereka ditantang untuk bersosialisasi, untuk
berinteraksi dengan masyarakat langsung dengan bertanya. Model seperti ini
dilaksanakan bagi siswa-siswa yang ditempatkan di derah Karanganyar, Wonogiri,
dan Klaten (kecuali Delanggu).
Bagi mereka yang ditempatkan di
Delanggu, mereka harus berjalan kaki kurang lebih 15 kilometer, hanya dibekali
masing-masing uang Rp. 6.000,- untuk makan siang selama perjalanan. Dilarang naik
angkutan umum. Jika air minum mereka habis dilarang beli di warung, harus minta
kepada warga sekitar. Dari hal-hal ekstrim ini social leadership ditanamkan. Bagi yang ditugaskan di dalam Kota semua
diwajibkan berjalan kaki, menempuh jarak antara 8-12 kilometer melewati beberapa
check point di Stadion Manahan, Plaza
Sriwedari, dan Gereja Purbayan, sebelum dikirimkan ke sekolah-sekolah. Dengan
catatan, perjalanan dilakukan di siang hari dengan panas yang luar biasa
menyengat.
Jumat dan Sabtu, 7 & 8 Maret
2014, siswa-siswa tersebut “dikaryakan” di TK & SD Kanisius yang ditunjuk. Tidak
hanya membantu mengajar saat jam regular, mereka juga dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan lain seperti mengisi jam belajar tambahan, memperbaiki
alat-alat yang rusak, dll. Intinya SMK Mikael menitipkan siswanya ke TK &
SD Kanisius. Untuk teknis kegiatannya, semuanya diserahkan kepada sekolah yang
ditempati. Setiap hari pula, ada tim dari SMK Mikael yang mengunjungi
siswa-siswa tersebut untuk visitasi. Sebagian
siswa tampak senang dan excited,
karena mereka belum pernah mengalami pengalaman ini sebelumnya. Ternyata tidak
mudah mengajar siswa TK & SD. Hari Jumat saya mendapat tugas mengunjungi
siswa di daerah Klaten, dan Sabtunya di daerah Wonogiri. Mengamati siswa
mengasuh anak TK, memberikan tambahan (sampai ada yang memberikan pelajaran
tambahan menulis huruf Jawa), menginventaris barang-barang sekolah, bermain
bola bersama anak-anak, sampai mendampingi siswa belajar drum band. Sekalian memberikan
uang untuk pulang ke Solo yang jumlahnya mepet juga.
Minggu, 9 Maret 2014, semua
peserta kembali ke SMK Mikael, dan acara ditutup dengan misa dan makan bersama.
Saat misa, setiap perwakilan diminta menceritakan kesan mereka. Sebagian besar
merespon positif kegiatan Mikael Mengajar ini. Rombongan dari Delanggu datang terlambat
karena sebenarnya mereka diminta kepala sekolah untuk tidak pulang hari itu. Rombongan
dari Jumapolo membawa oleh-oleh rambutan dan durian, Rombongan Purbayan Solo
yang walaupun sudah diberi uang transport tetapi memilih untuk berjalan kaki
menembus car free day. Dan masih
banyak cerita lain yang berkesan bagi mereka. Tetapi kesimpulannya kegiatan ini
cukup bermakna dan target social
leadership secara umum dapat tercapai. Kedua belah pihak, Kanisius dan
Mikael, sama-sama mendapatkan pengalaman baru, sekaligus dapat belajar bersama.
Beberapa siswa mengatakan, waktunya kurang lama. Tetapi tak apa lah, daripada
jika terlalu lama malah akan menimbulkan rasa jenuh (di samping itu kalau
terlalu lama biayanya pasti akan bertambah, hehehe…).
Sebagai penutup tulisan ini, sekaligus refleksi tentang
kegiatan “Mikael Mengajar”, berikut ini ada petikan puisi dari Dorothy Law Nolte
Jika
anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, dia belajar membenci
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, dia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, dia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, dia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, dia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, dia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia pun belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, dia belajar membenci
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, dia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, dia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, dia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, dia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, dia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia pun belajar menemukan cinta dalam kehidupan
3 komentar:
wedyan, tak akoni,
mikael pancen josss konyos konyoss
electronic cigarette, e cig, electronic cigarette, e cigarette forum, e cigarette health, electronic cigarette
y9a41x9w92 b7c55w3q51 d7g82j5r73 v4z87e3p03 h6o75u8e62 r2f51g7e55
Posting Komentar