hidangan istimewa kolese mikael

Kaum Minoritas yang Berkarakter (Catatan Kecil Panitia Brutal)




Sebuah lagu yang indah, tersusun dari nada-nada yang berbeda...
Disatukan oleh birama, tempo, dinamika, dan yang lainnya...
Di tangan orang yang salah, semuanya akan berantakan...
Namun di tangan orang yang paham, akan menjadi sebuah harmonisasi yang mengesankan....

Catatan saya diatas menganalogikan pengalaman saya beberapa hari kemarin. Belakangan ini konsep tentang pendidikan karakter sedang ramai dibicarakan di dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari kurikulum 2013 yang (katanya) menitikberatkan pada pendidikan karakter, ahklak mulia, semangat anti korupsi, sampai akhirnya sekolah-sekolah mencoba “jualan” dengan mempromosikan pendidikan karakter sebagai “komoditas” mereka. 

Pendidikan karakter. Sebuah konsep yang menurut saya cukup bagus. Bahkan di fakultas tempat saya kuliah dulu juga mempunyai tagline “berkarakter kuat dan cerdas”. Mengingat carut-marutnya kondisi di Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter sepertinya menjadi suatu solusi untuk mengatasi kebrobokan yang ada selama ini. Harapannya, generasi-generasi kita mendatang tidak akan mengalami jaman ketika banyak poster atau stiker bergambar mantan presiden Suharto dengan tulisan “Piye bro kabare? Isih penak jamanku to?”. Sebuah tulisan khas orang putus asa dan tak punya pengharapan akan masa depan yang cerah, hingga menawarkan untuk kembali ke masa lalu. 



Namun sekali lagi, pendidikan karakter itu bisa berhasil oleh dukungan banyak faktor. Faktor pemerintah saja belum cukup. Walaupun perangkat dan instrumennya sama, di tangan orang-orang yang berbeda, hasilnya pasti juga berbeda. Seperti acara pencarian bakat favorit saya, Master Chef, walaupun bahan-bahan dan resepnya sama, tetapi di tangan orang yang berbeda-beda, rasanya juga berbeda. Dan ternyata, faktor yang paling dominan justru bukanlah kelengkapan instrumen, tetapi semangat alias passion-nya, yang membuat sebuah konsep bisa berhasil atau gagal. 

Begitu pula yang saya alami beberapa hari kemarin, ketika saya “dipaksa” alias “dipercaya” untuk ngurusi Masa Orientasi Siswa di SMK Mikael Surakarta. Murid-murid baru datang dari berbagai macam latar belakang. Datang dengan berbagai perbedaan dan kebiasaan. Tidak semua kebiasaan tersebut dapat diterima di Mikael. 

Seperti analogi di awal tulisan saya, mereka bagaikan nada-nada yang berbeda, yang harus digarap menjadi sebuah lagu yang indah. Birama, tempo dan dinamikanya sudah jelas, sudah ditentukan. Tantangannya adalah membuat nada-nada tersebut menjadi sebuah harmoni yang bisa diterima banyak orang, karena di tangan orang yang salah semuanya pasti akan berantakan. 

Secara kebetulan, di tahun ini dalam sasaran mutu sekolah sudah ditetapkan sebelum MOS dimulai. Salah satunya adalah membangun sistem pendidikan yang unggul dan berbasis reflektif. Maka, mengacu dari situ, semua kegiatan siswa harus mengacu pada asas “berbasis reflektif” tadi.

Pengalaman ngurusi MOS ini bagi saya adalah pengalaman yang kedua. Tahun kemarin juga sudah pernah ikut terlibat, jadi ya tidak begitu kaget lah. Secara konsep masih copy paste tahun kemarin, dengan beberapa perbaikan sesuai dengan salah satu klausul dalam sistem ISO, continous improvement alias perbaikan berkelanjutan. Yang sudah baik dilanjutkan dan yang kurang baik diperbaiki. 

Karena harus menyampaikan pengarahan dan wawasan kepada siswa baru ini, metode yang dipilih adalah metode yang keras, tegas, dan (cenderung) brutal. Sebagai siswa STM Mesin, para siswa baru ini nantinya pasti akan mengalami praktek pemesinan. Nah, disini kedisiplinan menjadi kunci. Tidak ada toleransi untuk berbagai bentuk kecerobohan, karena akan berakibat fatal seperti produk gagal atau ekstremnya lagi bisa berakibat kecelakaan kerja. 

Berhubung siswa baru ini masih bocah ingusan yang baru saja lulus SMP, jika langsung dijelaskan dan diberi pengarahan tentang proses pemesinan rasanya pasti terlalu tinggi. Maka harus disimulasikan sekaligus diintegrasikan dalam kegiatan MOS. Kata kuncinya ada di disiplin (yang secara sederhana dimaknai sebagai taat pada aturan). Siapa yang tidak taat aturan (walaupun pintar), akan berpotensi lebih besar untuk gagal. 

Mengacu ke sistem pendidikan yang unggul dan berbasis reflektif, siswa baru ini harus diberikan pengalaman yang nyata, bukan sekedar mendengarkan, baca buku, ceramah, atau diskusi. Dengan pengalaman yang nyata, baik pengalaman berhasil ataupun gagal, mereka akan menemukan makna. Mereka akan menemukan sesuatu yang berarti. Dan dari pengalaman-pengalaman tersebut akan mempengaruhi cara mereka berpikir, berucap, dan bertindak selanjutnya. Pengalaman-pengalaman yang biasa pasti akan gampang dilupakan. Tetapi pengalaman-pengalaman yang tidak biasa, pasti susah dilupakan. Tantangannya disini, memberikan pengalaman-pengalaman yang luar biasa pada mereka. Dan SMK Mikael memilih cara yang ekstrem, cara yang brutal dalam MOS, salah satunya untuk memberikan pengalaman yang luar biasa ini.

Hari pertama MOS, banyak masalah yang timbul (seperti yang sudah diprediksikan). Acara start jam 5 pagi. Dari jumlah keterlambatan, masih parah. Sebanyak 34 orang dari 159 peserta datang terlambat. Padahal di Mikael, terlambat datang berarti awal kegagalan. Mereka yang terlambat artinya tidak siap bekerja. Untuk memberikan pengalaman pada mereka, siswa-siswa yang terlambat ini tidak akan dapat tempat duduk. Artinya mereka harus jongkok seharian, dari pagi sampai sore. Harapannya, besok mereka tidak datang terlambat lagi. Sebuah pengalaman baru bagi mereka bahwa jika mereka terlambat akibatnya fatal. 

Itu baru dari keterlambatan, masih banyak masalah selain keterlambatan. Seiring berkembangnnya teknologi, membuat orang jadi lebih malas, lebih suka sesuatu yang instan, sampai membuat orang menjadi pengecut. Inilah penyakit anak-anak jaman sekarang. Manja, tidak mau berjuang alias rekasa, terlalu bergantung pada orang tua, sampai menjadi banci-banci dunia maya karena beraninya hanya misuh-misuh di dunia maya daripada di hadapan orang yang dibencinya. 



Ini juga yang terjadi di MOS hari pertama. Banyak siswa yang malas menyiapkan bekal untuk dirinya sendiri (yang sebenarnya dibuat rumit, untuk menantang mereka sekaligus melihat unjuk kerja mereka). Lebih banyak yang memilih memesan & membayar di warung-warung depan (yang melihat hal ini sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan). Kami harus tegas, kami bermaksud untuk melatih mereka untuk kerja keras, bukan manja-manjaan. Jadi bagi yang ketahuan pesan di warung makanannya kami sita. Hari ini masih diampuni, bagi mereka yang ketahuan saat makan disendirikan, mereka makan bareng-bareng di dekat tempat sampah. Disertai dengan ultimatum, jika besok diulangi lagi, merek tidak usah makan saja besok. Setelah kotak makanan yang disita ini dibuka, barulah mereka merasa ditipu, karena dengan uang 100 ribu apa yang mereka dapatkan tidak sebanding. Padahal panitia sudah memperhitungkan, biaya untuk makan 1 hari maksimal 30 ribu. 

Begitu juga dengan ketidaksesuaian pada celana seragam sampai rambut, semuanya ditindak tegas. Potong di tempat, tidak ada toleransi. Begitu juga bagi mereka yang ketahuan misuh-misuh di dunia maya. Panitia juga tidak gaptek. Jadi bukan hal yang susah untuk melacak siapa saja yang misuh-misuh di dunia maya. Bagi kami, mereka ini pengecut. Belum pernah menjalani kegiatan kok sudah berkomentar yang negatif, sudah pesimis dulu. Kalau anda sudah pernah mencoba anda boleh berkomentar, tetapi jika belum mencoba, anda tidak berhak untuk berkomentar. Jadi mereka harus ditindak. Dibentak-bentak sudah pasti . Namun kali ini panitia juga melegalkan kontak fisik sejauh tidak berpotensi mencederai siswa baru. Sebatas menginjak kaki, mencengkeram kerah baju, dan menendang kaki atau pantat saja (itupun tidak boleh dengan emosi atau sekuat tenaga). Jadilah para pengecut ini bulan-bulanan panitia. Agar mereka sadar, bahwa ucapan di dunia maya ternyata bisa berakibat fatal di dunia nyata.

Tetapi walaupun brutal, MOS juga harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang humanis. Untuk menunjukkan pada siswa baru bahwa orang tua menjadi salah satu kunci mengapa mereka bisa berada di sini, mereka harus membawa foto keluarga. Pesannya sederhana, buatlah orang tua dan keluarga mereka bangga. 



Namun ketika selesai MOS hari pertama, saya justru banyak mendapat komplain dari orang tua yang tidak terima jika celana dan rambut anak-anaknya dipotong asal oleh panitia. Salah satu orang tua yang kebetulan berprofesi sebagai dosen mengakatan bahwa ini keterlaluan, terlalu barbar untuk sebuah lembaga pendidikan. Saya hanya katakan, acara MOS belum selesai. Jadi kalau mau komplain silahkan, tetapi tetap tidak akan saya respons. Karena saya dipercaya untuk ngurusi acara ini dari awal sampai akhir. Dan tidak akan saya biarkan orang lain mengacau rencana yang sudah disusun. Saya tahu ini lembaga pendidikan, justru disinilah panitia ingin mewujudnyatakan konsep pendidikan karakter itu lewat pengalaman nyata, bukan sekedar baca buku atau ceramah saja. Kalau mau pendidikan yang biasa-biasa saja, yang hanya diajari untuk baca buku atau dengar ceramah saja, silahkan cari sekolah lain, disini bukan tempatnya. (tetapi yang terjadi keesokan harinya bapak dosen tersebut menyalami saya sambil pamitan mau balik ke Jakarta. Saya tidak mendengar ucapan maaf darinya, tetapi saya bisa melihat dan merasakan bahwa pak dosen ini sudah menemukan pengalamannya, hehehe...)

Hari kedua semua sudah berjalan semakin baik. Dari 34 siswa yang terlambat, jumlahnya berkurang drastis menjadi 4 orang saja. Sudah lumayan baik to. Jadi jangan hanya melihat dari kasus potong celana dan rambut saja, tapi juga lihatlah perubahan pola pikir anak-anak ingusan ini. Kalau saya ingat saat kuliah dulu (jelek-jelek begini saya juga pernah kuliah...), tujuan pendidikan Indonesia adalah menciptakan manusia seutuhnya alias insan kamil. Manusia seutuhnya itu bukanlah manusia yang sempurna, yang isinya hanya yang baik-baik saja, tetapi manusia yang komplit dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jadi sekali lagi jangan lihat kasus potong celana dan rambut saja. Karena masih mending yang dipotong celananya, coba saja kalau yang dipotong leher atau burungnya, kan malah bisa berabe, heheheheh. 

Di hari kedua ini juga ada ujian mental. Kebetulan ada 2 peserta yang saat itu berulang tahun. Oleh panitia dikerjai habis-habisan. Saat kegiatan outdoor, di tas mereka diselipkan sejumlah uang, dan di-skenario ada yang mengaku kehilangan uangnya. Skenarionya, 2 orang ini dituduh menjadi pencurinya. Konsekuensinya, mereka harus dikeluarkan dari sekolah alias di-Drop Out.  Sebuah skenario yang berhasil, cukup dramatis, dan berkesan sampai ada yang menangis karena membayangkan tragis sekali nasib mereka, baru diterima sudah di-DO. Dan beruntunglah 2 orang itu, karena mereka mendapatkan sebuah hadiah ulang tahun yang tak terlupakan, bukan dalam bentuk barang, tapi dalam bentuk pengalaman  heheheheh.... 

Di hari yang ketiga, yang terlambat hanya 1 orang. Sebuah prestasi patut diapresiasi. Hari ketiga ini merupakan hari terakhir MOS, dimana fokusnya ada di team work. Melatih mereka untuk percaya pada rekan-rekannya. Kedisiplinan tanpa kepercayaan sama saja omong kosong. Maka di penghujung hari terakhir tantangannya adalah berjalan beriringan dengan mata tertutup, melewati berbagai rintangan, menuju sebuah titik dimana titik tersebut adalah tempat api unggun dinyalakan dan tempat penutupan MOS.
Tiga hari yang berkesan bagi panitia maupun peserta. Walaupun jumlah mereka hanyalah minoritas dibandingkan jumlah siswa SMK di Indonesia, tetapi sekarang mereka menjadi kaum minoritas yang berkarakter. Kaum minoritas yang mau belajar. Karena pada prinsipnya belajar adalah proses mengubah perilaku dari kurang baik menjadi lebih baik. And they did it.



Guru adalah orang yang merelakan diri menjadi jembatan bagi murid-muridnya...
Dan setelah murid-muridnya melewatinya, mereka akan jatuh dan hancur dengan sukacita...
Sekaligus mendorong murid-murid untuk membangun jembatan bagi dirinya masing-masing...
(Nikos Kazantakis)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

congratulation atas terselenggaranya MOS yg sangat berkesan dan berarti dalam sejarah hidup anak kami, seumur hidupnya dalam keluarga kami tidak pernah ada acara ceremonial ulang tahun tetapi skenario yg di buat oleh kakak senior dan panitia membuat bulu kuduk kami merinding saat mendengar cerita anak kami itu merupakan kado terindah dan berkesan dalam sejarah seumur hidupnya.terima kasih atas bimbingan semoga harapan kami sbg orang tua Anggito Banyu Aji tercapai apa yg dicita-citakannya,menjadi anak yg mampu mandiri dan menjadi insan yg berguna dan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun sesama. amin ya robal alamin

mashayson mengatakan...

browse around these guys 7a replica bags wholesale Visit This Link Dolabuy Chrome-Hearts pop over here Valentino Dolabuy