hidangan istimewa kolese mikael

ISO


Mulanya, aku mengira bahwa ISO adalah jaminan mutu suatu produk. Setiap hal yang dibumbui dengan ISO berarti mutunya bagus, berstandart Internasional. Ternyata tidak semudah itu.

ISO atau International Organization for Standardization adalah lembaga yang memberikan label standart internasional. Hal yang diberi label standart internasional bisa bermacam-macam, salah satunya managemen. Hal ini yang mungkin tidak dimengerti oleh kebanyakan orang, minimal oleh aku, pada mulanya. Setelah masuk ke SMK Mikael, aku masuk dalam suasana ISO. SMK Mikael sudah menerapkan ISO sudah tahun ke tujuh, bahkan merupakan pengguna managemen ISO pertama, di antara SMK di Indonesia. Bagi orang baru, demi mudahnya, orang mengatakan bahwa kegiatan ISO dimulai dengan menuliskan apa yang akan kita kerjakan dan mengerjakan apa yang telah kita tuliskan. Oleh karena itu, setiap hal memiliki acuan yang jelas, ada pembuktian dan alasan jelas untuk melakukan sesuatu.

Pertanyaanku, apakah bila semuanya sudah melaksanakan sesuai ISO, apakah produknya dijamin baik ? jawabanya sudah tertebak. Tentu belum ! Yang distandarkan adalah Managemen, atau pengaturan, cara bertindak, prosedurnya dan bukan hasilnya. Tentang hasilnya, diharapkan, setelah menerapkan ISO, produknya akan baik. Baik atau tidak masih tergantung dengan tujuan yang ingin dicapai. Di sini, managemen standart ISO berarti suatu cara mengawal suatu tujuan agar dapat tercapai dengan baik, lengkap dengan perangkat evaluasinya. Pertanyaan pertama sudah selesai, sekarang masuk kepada realitas implementasi ISO.

Sudah satu tahun aku menjalani, mengalami ISO (SMK Mikael sudah 7 tahun pake ISO). Kesannya adalah ”kikrik”, atau terlalu banyak hal yang harus dilakukan demi suatu pendokumentasian. Aku yakin bahwa semua yang telah diberi pemahaman ISO (ISO awareness) tahu bahwa melaksanakan ISO itu baik, tetapi masalahnya, melakukan ISO itu masih terkesan ”berat”. Ini persoalan hati. Tidak sinkron antara hati dengan budi. Akal budi mengatakan bahwa hal ini baik, tetapi hati melihatnya sebagai sesuatu yang berat. Pergulatan ini khas manusiawi. Artinya, secara moralpun, manusia sering mengalami bahwa dirinya tahu mana yang baik tetapi tidak melakukan yang baik itu. Mengapa ya ?

Aku mengira, bahwa ISO itu belum dianggap sebagai cara bertindak, belum dimiliki bersama oleh kebanyakan pelakunya sehingga masih ada di luar diriku. Tentu saja, apapun yang masih ada di luar itu, bukan diriku, belum diriku. Terhadap sesuatu di luar dirinya, manusia akan merasakan keterpaksaan. Hal inilah yang kurasakan di sini. Banyak orang merasakan terpaksa melakukan ISO. Bahkan, merasa tidak sesuai dengan dirinya. Ada pula yang bahkan anti atau enggan dengan ISO. Bila memang demikian adanya, bukankan ini suatu hal yang contra produktif. Pertanyaan kedua, mengapa banyak orang masih menganggap ISO itu di luar dirinya ? Mengapa orang merasa terpaksa dengan ISO ?

Aku melihat bahwa hal ini ada hubungannya dengan manusia. Artinya, managemen itu berkaitan erat denga manusia, bukan dengan sistem semata, sehingga pendekatan yang juga diperlukan adalah pendekatan manusiawi atau yang mempertimbangkan hati.Aku teringat dengan pidato Kebudayaan Umar Kayam. Suatu kebudayaan yang datang dengan cara yang lembut akan lebih diterima dan mempengaruhi orang sampai ke dalam cara pikir orang tersebut. Mungkin, ini dugaanku, ISO masuk ke Mikael tidak dengan lembut tetapi dengan ”pedang” sehingga hanya mempengaruhi sedikit di bagian luar tetapi tidak mengubah cara pandang orang. Mengubah cara pandang memang butuh waktu, dan waktu 7 tahun masih kurang untuk membuktikan bahwa ISO tidak diterima dengan baik di SMK Mikael.

Sedikit cerita. Suatu kali, aku datang ke tempat tukang pijit urat karena aku baru saja kesleo. Waktu itu, aku berangkat pagi-pagi jam 9 pagi. Tempat yang kutuju cukup jauh, sekitar 15 menit perjalanan dengan mobil. Pikirku, tentu tukang pijit yang kutuju tidak akan pergi sepagi ini karena dia adalah seorang pensiunan. Sesampai di tempatnya, aku menemukan rumah dalam keadaan tertutup, pintu jendela tertutup rapat, sepi. ”Jangan-jangan si tukang pijat tidak di rumah” pikirku. Aku bertanya kepada seorang anak, tetanggap sebelah, tetapi dia juga tidak tahu. Seorang ibu di depan rumah itu mengatakan bahwa mungkin saja si tukang pijat sedang ke luar membayar rekening listrik. Mendengar penjelasan tersebut, aku memutuskan menunggu, dengan harapan si tukan pijat segera pulang. Sudah sekitar 15 menit aku menunggu, tidak ada tanda-tanda si tukang pijat akan datang. Selama itu pula, aku mendengar obrolan tetangga tentang aku yang menunggu di depan. Mereka kemudian bertanya satu sama lain, apakah mengetahui kepergian si tukang pijat. Tak berapa lama, aku mendengar satu ibu mencoba menelepon anak dari tukang pijat tersebut, menanyakan keberadaan ayahnya. Di waktu yang lain, aku mendengar tetangga yang lain mencoba mencari nomor HP si tukang pijat itu. Desa yang kelihatan sepi itu, ternyata satu sama lain saling memperhatikan. Aku sebagai tamu si tukang pijat, dianggap sebagai tamu kampung itu sehingga merekapun segera mencarikan tukang pijat itu. Tak berapa lama, seorang ibu dan putrinya datang dan mengatakan bahwa aku diminta menunggu karena sebentar lagi, anak si tukan pijat akan datang. Lumayan, pikirku, tak ada ayahnya, anaknyapun mungkin bisa memijat. Ternyata anak yang datang kemudian itu adalah putri, dan masih sekolah sehingga harapan itu hilang. Tak berapa lama, pintu dan jendela di rumah itu dibuka dan aku diminta masuk ke dalam rumah. Si anak mengatakan bahwa ayahnya akan segera pulang. Aku merasa tenang, ada kepastian dari si anak. Selama menunggu si tukan pijit datang, aku melihat bahwa sistem yang terbentuk dalam desa ini sungguh sistem yang sangat efektif. Seorang tamu (dalam bahasa ISO disebut User) telah dipenuhi keinginannya yaitu rasa tenang dan yakin bahwa dia bisa bertemu dengan orang dituju. Tentu saja, tetangga yang telah bersusah payah mencarikan informasi tentang keberadaan si tukang pijit tidak mengerti apa itu ISO, tetapi dalam hal ini, aku merasakan bahwa cara yang semacam inilah yang sebenarnya mau ditiru dengan ISO. Dengan kata lain, dibuat suatu prosedur baku agar suatu maksud (bertamu, misalnya) dapat tercapai. Tidak rumit, tidak datang dari luar dan efektif !!

Dari sini, muncul kembali pertanyaan, darimana datangnya ”prosedur” yang sangat efektif ini ? Mengapa setiap orang di kampung tersebut merasa menjadi satu sebagai anggota kampung sehingga tamu satu orang adalah tamu satu kampung ? Kelihatannya mereka kenal satu sama lain dan dan membutuhkan satu sama lain dan menolong satu-sama lain. Dengan kata lain, ada kekompakan, perasaan satu. Selain itu, ada juga norma kesopanan yang telah diwarisi turun-temurun berhubungan dengan relasi manusiawi. Norma kesopanan itu telah mendarah daging sehingga menjadi bagian dari diri.

Kembali ke ISO, kapankah ISO mendarah daging di antara penggunanya ? Kapankah ISO tidak lagi dianggap sebagai hal yang memaksa atau di luar diri ? atau pertanyaan sebelumnya, kapankah para pengguna ISO merasa satu sebagai suatu kelompok sehingga tercipta saling tolong menolong ?

sumber gambar : http://www.index-medica.com/img/duze/logo-iso-tuv-b.jpg

0 komentar: