Judul di atas tidaklah ingin meniru anak-anak AlaY yang pake huruf besar kecil tapi ada sesuatu yang khas saat kita menilik tulisan-tulisan dalam bahasa Tagalog ada kata NG. Ternyata NG itu artinya kurang lebih sama dengan "OF".
Kebetulan beberapa saat yang lalu, ada guru-guru Mikael yang diutus untuk mengajar di Manila, ibukota Filipina. Yang menjalankan tugas sebagai duta itu adalah Pak Murdi dan Pak Eko Winarno. Bakule HIK sudah sempat menyandera para duta itu untuk bercerita pengalamannya selama di Manila. Katanya, "Ora sah kok kon karo kok oyak-oyak, aku wis gawe critane hahahaha - Tidak usah disuruh dan dikerjar-kejar, cerita sudah saya buatkan," begitu seloroh salah seorang duta tersebut. Atas kemurahan hati itu. kita mendapatkan cerita-cerita berikut:
Jumat, 14 Oktober 2011. Hari itu, kami berangkat dari bandara Adisumarmo Boyolali (bukan Solo) dan sampai di Jakarta 1 jam kemudian. Mulai detik itu, kami benar-benar belajar untuk menunggu. Pertama, menunggu loket chek in buka. Selanjutnya, setelah masuk di bagian imigrasi, kami masih harus menunggu keberangkatan pesawat. Ternyata, mau ke luar negeri berat juga di samping tentu biayanya. Akhirnya pesawat yang kami tunggu tiba dan kami disuruh memasuki pesawat Pilliphine Airlines. Di dalam pesawat, kami sudah merasakan suasana yang berbeda terutama segala sesuatunya sudah menggunakan bahasa Inggris. Dua jam kemudian kami transit di Bandara Singapura Changi (terus jadi ingat peristiwa Munir). Begitu keluar dari pesawat, kami agak kaget dengan suasana bandara yang sangat berbeada dengan bandara di Indonesia. Dan tanpa terasa bahwa saya sudah menginjakkan kaki di luar negeri (Maklum, baru sekali ini keluar negeri Bro). Barang-barang yang kami bawa diperiksa termasuk laptop. Setelah menunggu kira-kira 20 menit, kami segera menaiki pesawat lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Manila, ibukota Pilipina. Sampai di bandara, kami sudah dijemput staf Erda Tech, antara lain : Mr. Marc. Magsalin (Wakasek Kurikulum), Mika (Kepala Administrasi), dan Owen (staff accounting).
Sabtu, 15 Oktober 2011. Hari pertama di Manila, kami diajak berkeliling oleh seorang staf accounting Erda Tech yang bernama Owen (namanya mirip pemain MU). Di belakang Erda Tech, ada sungai besar bernama Pasig River dan untuk menyeberanginya, digunakan perahu yang digerakkan dengan motor diesel. Untuk dapat menaiki perahu ini, orang-orang harus membayar 7 peso Pilipina. Turun dari perahu, kami diajak melihat rumah susun yang dihuni oleh ribuan orang. Baru kali ini kami melihat dari dekat keadaan rumah susun. Kami menyeberang lagi untuk melanjutkan perjalanan dengan troli. Di Indonesia, troli adalah nama alat yang digunakan untuk mengangkut barang. Namun, di Filipina troli – yang ternyata tidak seperti yang dibayangkan - digunakan sebagai alat transportasi untuk mengangkut manusia dalam jarak dekat. Bentuknya seperti kursi panjang dari bambu yang bisa mengangkut 8 orang dengan posisi duduk saling membelakangi (bahasa Jawa: ungkur-ungkuran). Yang membuat takut adalah troli tersebut dijalankan di atas rel kereta api yang masih aktif dan didorong oleh tenaga manusia. Di Indonesia, keberadaan becak masih lebih manusiawi. Masih ditambah lagi bila roda yang terbuat bearing itu lepas atau pecah saat berada di atas jembatan.
Setelah mencoba troli, kami diajak Owen naik bus untuk menuju SM Manila, salah satu mall terbesar di kota Manila. Begitu sampai di mall, saya kaget bahwa pengunjung mall sangat banyak seperti saat 2 hari sebelum lebaran di Indonesia. Makan siang di mall dengan harga cukup mahal pun dipenuhi pembeli. Setelah saya tanyakan pada Owen, ternyata hari Sabtu dan Minggu bagi mereka adalah hari keluarga sehingga tempat-tempat wisata, mall selalu penuh sesak oleh pengunjung. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan keluarga yang tidak punya uang, karena saat kami naik troli ternyata masih banyak warga Pilipina yang miskin mendirikan gubuk di pinggir rel kereta api seadanya untuk tempat tinggal. Yang dapat dipetik dari pengalaman ini adalah bahwa warga Pilipina adalah sayang pada keluarga, meskipun di satu sisi mereka sangat konsumtif.
Minggu, 16 Oktober 2011. Pagi hari, kami diajak oleh para guru muda dan staf (Mika, Claro dkk) untuk pergi mengenal lebih jauh tentang Pilipina dari segi sejarah dan kebudayaan. Tujuan pertama adalah Gereja Katedral Manila untuk mengikuti misa kudus. Yang membuat kaget, bahwa gereja sebesar dan semegah itu bangkunya hanya terisi sebagian dan tidak penuh. Kemana mereka ya? Apa karena sudah mayoritas katolik lalu mereka tidak mau ke gereja? Dan yang membuat saya heran adalah bahwa misa kudus tidak diiringi koor padahal diiringi orgel pipa yang membuat merinding pendengarnya. Saat itu, saya merasakan bahwa misa kudus di Indonesia tampaknya lebih semarak dan digarap lebih serius. Kepada para kaum muda Katolik di Indonesia, jangan mau kalah dengan mereka, mari tunjukkan kepada dunia bahwa anda dapat mengikuti dan berperan dalam misa kudus. Untuk teman-teman paduan suara Mikael, jangan khawatir suara kita tidak kalah dengan mereka di Pilipina.
Setelah kami sarapan, kami diajak mengunjungi Gereja Santo Agustinus, kira-kira 200 meter dari gereja Katedral. Suasana di gereja ini lebih baik, dalam arti bahwa misa diiringi dengan koor, dsb. Di samping gereja tersebut, ada museum yang berisi sejarah dan peralatan yang pernah ada sejak abad ke 16. Diceritakan oleh rekan kami Claro bahwa bangunan disamping gereja tersebut adalah bekas seminari. Sangat menarik tempat ini, dapat semakin meneguhkan iman kami.
Di seberang Gereja Santo Agustinus terdapat rumah kuno Pilipina yang disebut Casa Manila. Rumah ini dulu ditempati oleh Staf Gubernur atau Gubernur Jendral Spanyol di Manila. Sasaran kami berikutnya adalah bekas benteng pada jaman penjajahan Spanyol. Kalau di Indonesia, mungkin seperti benteng Vredeburg dan benteng-benteng sejenis lainnya. Puas berjalan-jalan, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 12 siang waktu Manila atau jam 11 siang di Solo. Bersamaan dengan waktu tersebut, museum tutup untuk istirahat. Kami pun juga mencari tempat untuk makan siang dan akhirnya kembali ke SM Manila. Karena hari Minggu, pengunjung semakin penuh dan kembali semua restoran di SM Manila dipenuhi oleh para pengunjung yang akan makan siang. Dan restoran yang dipilih adalah restoran Cina (jadi ingat Koh Felix yang menjadi pustakawan di Mikael). Usai makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Rizal Park, yaitu penjara tempat Jose Rizal ditahan. Jose Rizal adalah pahlawan kemerdekaan Pilipina pada jaman penjajahan Spanyol. Beliau adalah seorang dokter sekaligus penulis, di dalam penjara tersebut ditampilkan tulisan-tulisan saat beliau dipenjara. Puas berkeliling sekitar tempat tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke Luneta Park. Luneta Park adalah ruang publik yang disediakan oleh pemerintah Pilipina tanpa dipungut bayaran. Pada sore tersebut, tempat itu dipenuhi pengunjung, seperti hari Lebaran di candi Prambanan. Di taman itu pula terdapat monumen Jose Rizal. Konon, beliau di eksekusi di tempat tersebut. Pengalaman yang dapat kami petik adalah orang Pilipina sangat menghargai tempat bersejarah peninggalan para pendahulu. Mereka merawat tempat-tempat tersebut dengan baik. Mereka sangat menghargai jasa para pahlawannya. Untuk perkara ini, bangsa Indonesia perlu mencontoh mereka.
0 komentar:
Posting Komentar